![]() |
Pesona Teras Sawah Tegallalang (Torch.id) |
Bali lebih dari sekadar pantai berpasir putih dan ombak yang berpadu dengan debur semilir angin laut.
Di balik hiruk-pikuk Kuta dan keramaian Seminyak, terdapat sebuah oase hijau yang menenangkan, lengkap dengan hamparan sawah terasering yang memikat mata—Tegallalang Rice Terrace.
Bagi wisatawan Indonesia, kemegahan terasering Tegallalang tidak hanya sekadar pemandangan Instagramable, melainkan juga cerminan budaya Subak yang diwariskan nenek moyang.
Saat pagi pertama kali menyapa Ubud, sinar matahari perlahan menembus celah pepohonan, mengundang kita untuk menjelajah jalanan berkelok menuju Tegallalang.
Dari alun-alun Ubud, perjalanan sekitar 20–30 menit membawa kita menembus desa-desa kecil, di mana setiap tikungan jalan menyuguhkan aroma kopi Bali yang disangrai dan kicauan burung hutan.
Tidak butuh peta rumit—cukup ikuti papan penunjuk arah “Tegallalang Rice Terrace” yang berdiri beberapa meter sebelum tikungan ke Desa Ceking, atau sewa motor dan tanya bendesa setempat agar tidak tersasar.
Begitu tiba di gerbang utama, nuansa berbeda langsung terasa: udara dingin pegunungan merasuk ke dalam jaket tipis, menyejukkan kulit yang semula kepanasan.
Sejauh mata memandang, terhampar ribuan petak sawah berundak menurangi kesan monoton. Warna hijau muda padi yang baru tumbuh berpadu dengan hijau tua pohon kelapa dan pepohonan tropis.
Inilah hasil kerja Subak, sistem irigasi tradisional Bali yang telah diakui UNESCO sebagai bagian dari “Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy.”
Konon, bersama merawat sawah, para petani juga memelihara harmoni antara manusia, alam, dan roh-roh di sekitarnya.
Jejak kaki pertama di jalur setapak yang membelah terasering terasa begitu istimewa. Jalan tanah setapak, diapit oleh parit-parit bambu yang mengalirkan air dari sungai di atas bukit, membawa kita seolah menapaki lempeng waktu.
Di pagi hari, embun menetes dari setiap helai batang padi; sebagian petani sedang membajak sawah dengan sesajian doa sebelum musim tanam.
Jika kita beruntung, pemandu lokal akan mengajak mampir ke pura kecil di tepi sawah, tempat mereka mempersembahkan bunga dan dupa sebagai ungkapan syukur.
Kisah Tegallalang tak hanya soal padi. Dalam beberapa tahun terakhir, pengelola setempat mengembangkan beberapa wahana baru agar wisatawan mendapatkan pengalaman lebih.
Di antaranya, swing raksasa di atas lembah. Bayangkan, duduk di ayunan bambu setinggi puluhan meter sambil terpaku pada panorama terasering—sensasi ini kian populer lewat media sosial.
Untuk menikmati wahana ini, pengunjung cukup membayar sekitar Rp 200.000 untuk satu kali paketan foto tak terbatas.
Namun, jika hanya ingin berjalan santai menyusuri terasering tanpa naik ayunan, tiket masuk sukarela (donasi) sekitar Rp 20.000 per orang biasanya sudah cukup.
Biaya parkir motor dan mobil pun sangat terjangkau, berkisar Rp 1.000–2.000; bahkan hingga Rp 5.000 untuk bus wisata.
Pukul delapan pagi adalah waktu yang ideal. Kabut pagi mulai terangkat, tetapi panas matahari belum terlalu menyengat.
Kita bisa menyelusuri lorong demi lorong terasering—mengabadikan momen foto klasik “bird’s nest” atau “perspective shot” di atas jembatan bambu kecil—tanpa harus berebut ruang.
Pada siang hari, kala terik matahari makin terik, banyak wisatawan menepi ke kedai kopi lokal.
Cobalah mampir di salah satu warung kopi tradisional sekitar 200–300 meter dari pintu masuk terasering.
Di sana, Anda bisa mencicipi kopi Luwak asli Bali dengan proses sangrai yang masih tradisional.
Sensasi seru menyaksikan barista menuangkan espresso panas, lalu diseruput kala pandangan tertuju pada aliran sawah hijau di depan mata—menyelimuti kita dengan kedamaian yang sulit ditemukan di perkotaan.
Kala senja mendekat, pesona Tegallalang kembali membuat siapa pun tertegun. Sinar jingga memantul di sela-sela teras, menghadirkan gradient warna hijau menuju keemasan.
Inilah momen terbaik untuk menikmati ketenangan sambil duduk di salah satu warung di tepi sawah.
Pernahkan terbayangkan menyeruput es kelapa muda segar sambil mengamat-amati batang padi bergoyang pelan, atau memesan sepiring nasi campur Bali lengkap dengan sate lilit dan lawar?
Sambil menikmati jajanan tradisional seperti klepon dan jajanan pasar lain, kita bisa berbincang ringan dengan penduduk lokal yang ramah, yang mungkin akan bercerita tentang musim tanam berikutnya atau kisah leluhur mereka dalam mengolah lahan terjal menjadi sawah yang subur.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diingat. Jalan setapak di terasering tidak selalu rata—beberapa bagian agak licin, apalagi jika hujan turun di malam sebelumnya—maka sepatu atau sendal yang nyaman dan beralas karet adalah pilihan paling aman.
Bawalah tabir surya dan topi lebar, karena saat siang, sinar matahari di dataran tinggi Ubud bisa begitu terik.
Meski ada beberapa warung dan café, jangan lupa mengisi air minum di botol sendiri; harga air mineral di sana cenderung sedikit lebih tinggi dibandingkan di pusat kota.
Bagi yang ingin memperdalam pengalaman, jangan lupa untuk menyempatkan berkunjung ke Pura Ulun Kulkul—pura setempat yang terletak di lereng sungai terdekat—atau mengikuti tur Subak singkat.
Di sana, Anda akan melihat cara petani membagi aliran air dari sungai menggunakan bamboo pipes, lalu menyaksikan para petani menabur benih padi secara manual.
Setiap periode tanam berlangsung sekitar 120 hari, diakhiri dengan upacara piodalan—ritual syukuran yang dihadiri seluruh desa.
Jika kebetulan datang pada masa tersebut, Anda akan merasakan nuansa upacara Bali yang khas: gamelan mengalun, kain poleng terbang di angin, dan aroma kemenyan bercampur wangi padi menguar di udara.
Tak jauh dari Tegallalang, terdapat beberapa objek wisata lain yang patut dikunjungi.
Sekitar 2 kilometer ke arah barat, Bali Pulina Agrotourism menawarkan paket lengkap: tour kebun kopi, proses pembuatan kopi Luwak, hingga mencicipi berbagai racikan kopi dan teh organik.
Untuk yang menyukai adrenalin, Aloha Ubud Swing dengan wahana ayunan di ketinggian siap memacu adrenalin—pastikan kamera siap menangkap momen saat Anda melayang di atas sawah.
Sementara itu, Air Terjun Manuaba di ketinggian sekitar 15 meter bisa menjadi pilihan sempurna untuk menyegarkan diri dengan mandi bunga–nya yang sejuk, cukup dengan membayar tiket Rp 5.000 per orang.
Menjelang malam, perjalanan pulang terasa begitu berkesan.
Kepala dan hati terasa ringan, seolah membawa pulang sejumput ketenangan dari hamparan hijau Tegallalang.
Meski hanya sehari, pengalaman menggali wawasan Subak, merasakan udara pegunungan, dan berinteraksi dengan masyarakat setempat akan menjadi cerita yang terus dikenang.
Pada akhirnya, Tegallalang Rice Terrace bukan sekadar objek wisata—ia adalah perjalanan budaya dan alam, di mana kita diajak merasakan denyut nadi petani Bali yang telah hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad.
Bagi wisatawan Indonesia, mengunjungi tempat ini lebih dari sekadar memotret pemandangan; ia adalah ungkapan syukur atas kekayaan tradisi, keindahan lanskap, dan keramahan masyarakat Bali yang sejati.
Selamat menjelajah, dan biarkan Tegallalang meninggalkan jejak kenangan tak terlupakan di hati Anda.
0 komentar:
Posting Komentar